Jumat, 10 Juli 2009

Dr. Frans Wilhelm Junghuhn



“TAMAN JUNGHUHN” plang dengan tulisan itulah yang menandakan lokasi makan junghuhn, berada sekitar beberapa ratus meter dari pasar lembang dan terletak di daerah Jayagiri Kec. Lembang Kab. Bandung. Taman dengan bentuk menyerupai hutan kecil yang sebenarmya merupakan cagar alam dengan luas 2,5 Ha dibawah nauangan Direktorat Jenderal Perlindungan hutan dan Konservasi Alam. Taman yang memiliki berbagai plastma nutfah seperti pohon cemara pinus, pohon kina (Chinchona calisaya) dan sebuah makam yang diatasnya dibangun sebuah tugu obelisk. Pada satu sisinya tertulis Dr. Frans Wilhelm Junghuhn, Gebore te Mansfield Pruisen 14 October 1810 – Overleden te Lembang 24 April 1864, namun menurut Rudiger Siebert tanggal lahir Junghuhn seharusnya 26 Oktober 1809.

Lalu siapakah sebenarnya Junghuhn itu? Beliau merupakan seorang dokter, peneliti berkebangsaan jerman dan juga perintis penanaman pohon kina di Hindia Belanda. Konon kabarnya bibit kina pertama kali dibawa Junghuhn dengan cara menyembunyikannya didalam sepatunya. Ya karena peran kina yang sangat besar pada saat itu sebagai bahan baku obat malaria membuat Peru sebagai salah satu negara penghasil kina memegang hak monopoli sehingga ekspor kulit kina diawasi secara ketat terutama biji dan bibitnya.

Beliau merintis penanaman kina di sejumlah daerah pegunungan di Wilayah Priangan Jabar, seperti di Pangalengan (Cikembang, Purbasari, dan Malabar), di Ciwidey (Rancabolang dan Rancabali) mulai sekitar tahun 1830. Belakangan, usaha yang dirintisnya itu mampu membawa harum nama daerah Priangan, dengan sempat menjadi pemasok utama kina hingga 90% didunia hingga menjelang Perang Dunia II, sebelum akhirnya usaha kina di Jabar mengalami kemunduran yang dilihat dari jumlah produksinya, bahkan saat ini untuk mencukupi kebutuhan bahan baku untuk dua pabrik pengolahan kina kita harus mengimport dalam jumlah yang cukup besar.

Beliau menikah pada tahun 1850 dengan Johanna Lousiana Frederica Koch dan akhirnya tinggal bersama istri dan anaknya di sebuah kampung bernama pondok bambu yang terletak dikaki Gunung Tangkuban Perahu yang mana merupakan satu-satunya kampung di daerah Lembang pada saat itu. Dan ditempat itulah beliau menghembuskan nafasnya yang terakhir, namun sebelum meninggal ia berpesan kepada sahabat yang setia mendampinginya yaitu, Dr. Gronemen “Bisakah engkau membukakan jendela-jendela?” lalu beliau berkata lagi “ Aku ingin berpamitan pada gunung-gunungku, aku ingin memandang hutan-hutan yang hijau dan aku ingin menghirup udara pegunungan yang terakhir kalinya….”

Orang yang mendapat julukan “Humboldt untuk Jawa” itu diakui ,memiliki kemampuan mengamati yang luar biasa. Selain itu beliau juga memiliki bakat yang besar untuk menggambarkan hasil pengamatannya, baik dengan kata-kata maupun dengan lukisannya, bahkan diakhir hayatnya beliau bekerja dengan topografi. Selain sebagai seorang botani beliau juga bekerja sebagai geolog, etnograf, topograf, dan geograf.

Sebagai penghargaan atas nama besar dan jasa Franz W. Junghuhn, namanya diabadikan untuk sebuah perkebunan dan rumah sakit di Kec. Pangalengan Kab. Bandung. Setidaknya, masyarakat dapat mengenal namanya melalui Perkebunan Pasir Junghuhn (kini bagian dari Perkebunan Purbasari) dan Rumah Sakit Pasir Junghuhn, yang kini dikelola PTPN VIII.



Sumber: buku Jendela Bandung karangan Her Suganda dan sumber lainnya
foto : ujang endey dan dari www.nationaalherbarium.nl


Tidak ada komentar:

Posting Komentar