Senin, 08 Maret 2010

Mengenang jejak Kejayaan Kereta Bandung-Ciwidey

Sepatu sandal pemberian kaka, kaos kaki & celana berkantong banyak 10 cm dibawah lutut pemberian ibu dengan warna yang sudah mulai pudar termakan deterjen, kaos dengan gambar sebuah senyuman & tulisan “God moody”, sebuaj jaket hitam yang pudar termakan usia & topi hitam pemberian shela itulah yang aku kenakan biasanya untuk ngaleut. Dalam ngaleut kali ini saya bersama pegiat Aleut lainnya akan menyusuri jalur kereta api dengan rute Soreang-Ciwidey yang terkenal itu.

Untuk menghubungkan daerah Bandung dengan daerah-daerah yang menjadi sentra perkebunan itulah salah satu tujuan dibangunnya jaringan kereta api lintas cabang di Bandung dan khusunya jalur Bandung-Ciwidey. Pembangunan Jalan kereta api jalur Bandung-Ciwidey sepanjang + 40,396 Km baru selesai tahun 1924. Pembangunan dimulai dengan jalur Bandung-Soreang melewati kiaracondong sepanjang 29 Km & selesai dibangun pada Februari 1921, sedangkan dari Soreang menuju Ciwidey sepanjang + 11,396 Km baru selesai sekitar tahun 1924 (dalam buku jendela Bandung). Tetapi dari Koran harian PR tanggal 22 Januari 2010 dikatakan “berdasarkan catatan, jalur kereta pai Bandung-ciwidey mulai beroperasi tahun 1923”. Nah perbedaan tahun ini manjadi menarik untuk diperbincangkan sambil minum kopi atau nge-teh di sore hari nih!

Berdasarkan beberapa data jalur kereta Bandung-Ciwidey merupakan satu diantara lima belas jalur kereta api yang sudah tidak diaktifkan dalam kurun waktu sekitar tahun1942 -1970, namun tidak seperti bekas jalur kereta api yang lain jalur kereta Bandung-Ciwidey ini masih tergolong yang paling utuh walaupun sudah banyak ditumbuhi oleh pemukiman penduduk disekitar jalur kereta bahkan ada yang mendirikan bangunan diatas bantalan rel dan ada sebagian besi rel yang dicuri dengan menggergajinya ataupun mengambil bantalan rel untuk dijadikan suluh(kayu bakar).

Menyusuri jalur ini kita akan disuguhi pemandangan alam berupa pegunungan, bukit, hutan bambu yang teduh dan hamparan sawah yang mulai menguning tanda siap dipanen dalam beberapa minggu kedepan. Dapat dibayangkan seandainya jalur kereta ini masih beroperasi mungkin saya akan duduk dekat jendela sambil makan cemilan ditemani secangkir teh hangat yang disajikan oleh mojang Bandung anu geulis sambil senyum sumringah tea! Waduh mantep euy……

Selain itu, kita juga masih dapat melihat peninggalan-peninggalan lainnya, mulai dari jalur rel, bangunan-bangunan bekas gudang & Stasiun, selokan-selokan pengairan, tempat mengisi air untuk lokomotif, jembatan-jembatan rel kereta yang masih gagah walau telah dimakan usia, hingga tempat pemutaran lokomotif/Jembatan putar (yang kini telah berubah menjadi WC umum).

Dan bagi para penggemar film mungkin sudah tidak asing lagi dengan salah satu jembatannya, yaiu jembatan Ciantik yang pernah digunakan untuk pengambilan gambar dalam film berjudul “Oeroeg” pada tahun 1997 bagaimana saat itu terjadi pertukaran sandera antara pribumi (Oeroeg) dengan orang Belanda dengan perbandingan yang tidak sebanding karena satu orang Belanda dengan banyak pribumi.

Ada beberapa alasan dibukanya jalur kereta ini, diantaranya untuk menghubungkan daerah Bandung dengan daerah-daerah yang menjadi sentra perkebunan, untuk mengangkut para penduduk yang hendak ke kota baik itu untuk membeli kebutuhan sehari-hari, mengadu nasib dengan menjajakan makanan/jajanan atau menjadi buruh tani di musim kemarau. Menurut cerita beberapa penduduk ketika jalur ini masih aktif Bandung adalah tempat yang dituju untuk membeli kebutuhan sehari-hari, dimana bahan pangan didapat disekitar stasiun Bandung, bahan sandang didapat di Pasar Baru dan barang elektronik didaerah Banceuy (Jl. ABC, masih sama seperti sekarang). Biasanya para penduduk menumpang kereta pertama jam 04.00 WIC (Waktu Indonesia bagian Ciwidey) dan kembali pulang dengan kereta terakhir dari Bandung jam 17.30 WIC. Bahkan pada saat itu di stasiun Ciwidey terdapat banyak orang gila, ada yang memang iseng ikut kereta dan tidak sedikit juga yang sengaja dibuang dari Bandung.

Ketika masih beroperasi kereta ini memiliki jadwal dua kali keberangkatan. Dua kali dari stasiun Bandung dan dua kali dari stasiun Ciwidey. Jalur Bandung-Ciwidey dimulai dari persimpangan jalur di Stasiun Kiaracondong menyusur kea rah Dayeuhkolot, Baleendeh dan Banjaran. Di Banjaran sendiri terdapat persimpangan kea rah selatan menyusuri kawasan pertanian, perkebunan dan pertambangan belerang hingga berakhir di Ciwidey.

Penutupan Jalur kereta api Bandung-Ciwidey ini terjadi setelah adanya kecelakaan rangkaian kereta api yang ditarik dengan lokomotif seri BB di kampung Cukanghaur (terletak diantara stasiun Cisondari dan Sadu), kecamatan Pasirjambu pada 7 Juli 1972 yang mengakibatkan dua atau tiga orang tewas dan beberapa orang lainnya luka-luka. Kecelakaan ini diduga karena kelebihan beban muatan yang membawa kayu pinus untuk dikirim ke Jakarta.

Mengenal & mempelajari sejarah menjadi lebih menyenangkan bila kita menggunakan metode belajar sambil bermain seperti yang kami lakukan, dimana suatu pengalaman belajar menjadi lebih mengasikkan, tak terlupakan dan tidak membosankan seperti biasanya.

Sumber Bacaan:

Jendela Bandung Karangan Her Suganda

Koran Harian Pikiran Rakyat Tanggal 22 Januari 2010

The Jakarta Post

Kamis, 21 Januari 2010

Mengejar Negeri di Awan

Bandung, Sabtu 2 januari 2010
Ini adalah awal perjalanan saya di tahun 2010. Rute yang akan akan saya tempuh memang singkat yaitu, dari daerah dago menuju daerah Cicaheum bahkan naik angkutan umum pun tidak sampai Rp. 5.ooo,- tapi perjalanan yang akan saya tempuh ini adalah dengan berjalan kaki dan bukan melewati jalur angkot. Teapi melewati daerah Dago atas, Warung Daweung hingga Cicaheum.
Jam menunjukan 04.40 pagi dan bersama rekan saya taufik & Shela perjalanan pun kami mulai. Memasuki daerah dago resort kami berjalan terus mengikuti kemana kaki melangkah, dalam terang gelapnya kami rasakan udara sejuk khas yang dikota-kota sudah jarang bisa ditemukan dan yang terpenting inilah oksigen yang baik untuk kesehatan. Sambil terus berjalan tak terasa jalan komplek yang semakin menanjak, namun itu tidak kami sesali karena pemandangan kota Bandung yang indah masih terselimuti kabut pagi. kamipun terkagum-kagum dan membayangkan disini saja pemandangannya sudah indah apalagi kalo udah ditempat tujuan kami yaitu, Warung daweung akan terasa semakin indah dan tentu kamipun semakin bersemangat.
Sampai juga di perempatan yang menanjak, disebelah kiri ada jalan yang tertutup portal dan disebelah kanan adalah jalan yang akan kami pilih dan yang menjadi patokannya adalah The View International Restaurant. Kami terus berjalan hingga kondisi jalan berubah menjadi abstrak yang menandakan komplek perumahan berakhir dan berganti menjadi jalan menuju perkampungan penduduk.
Jalan menanjak hingga kemiringan 450 pun kami lewati, gonggongan anjing tak kami hiraukan dan sesekali kami beristirahat sambil memandangi kota yang terselimut kabut yang semakin lama semakin memudar dan menandakan denyut kehidupan kota mulai bergeliat. Dan seperti biasa kebun-kebun penduduk dikanan kiri yang tertata dengan apik menyerupai motif kain batik seperti ikut mendukung kain batik sebagai warisan dunia walaupun sebenarnya motif-motif itu dibuat karena kebun-kebun berada dilereng yang memiliki kemiringan cukup miringlah.
Beberapa gapura desa telah kami lewati mulai dari desa Ciharalang, Cikahuripan dan hingga Cimenyan yang ternyata daerah Cimenyan ini sangat luas juga. Sambil berjalan kami berpapasan dengan para petani yang hendak berkebun dan kebetulan ada kendaraan pick up terbuka melintas tanpa pikir panjang kamipun ikut menumpang bersama para ibu-ibu petani. Hingga ada percabangan jalan kmaipun berhenti karena ada tulisan Warung Daweung darisini Kamipun berjalan sedikit untuk menuju tempat ttersebut, kamipun melihat sorang nenek yang sedang moyan (berjemur) saya terkagum-kagum karena rumahnya gubuk, tetapiu pemandangan dari terasnya yang sangat indah. Kamipun sampai di Warung Daweung negeri di atas awan yang indah dimana waktu malam tahun baru saya bersama teman-teman melihat kembang api. Sambil beristirahat kami memesan Pisang goreng Keju ditemani segelas kopi yang dibawa oleh Shela. Rasa lelah kamipun hilang saat itu juga, pemandangan yang menurut saya sangat indah. Gunung tinggi berselimut kabut dengan cerah dan birunya langit dengan bangunan-bangunan di kota yang terlihat sangat kecil. Sayapun teringat akan manusia purba yang mungkin saja ditempat saya berada inilah mereka dulu berada atau tinggal.
Dan itulah mengapa saya memberi judul tulisan ini mengejar negeri di awan yang semula mengejar matahari, karena memang rencana awalnya adalah melihat matahari nongol namun kami tidak sempat tapi tetap saja kami tidak menyesal karena pemandangan indah dari tempat ini. Dan seperti biasa para model pun mulai beraksi dan foto-foto yang dihasilkanpun lumayan membuat orang-orang yang melihatnya takjub.
Setelah kami puas menikmati keindahan ini, kamipun memutuskan kembali pulang namun melewati jalur yang berbeda yaitu menuju daerah cicaheum. Jalan yang kami tempuh memang sangat becek diawalnya namun lama-kelamaan jalan aspal yang kami lalui. Tak terasa 1 jam lebih kami berjalan hingga kemi melihat kumpulan batu-batu sisa letusan gunung berapi ya kami menyebutnya taman batu 2 karena taman batu 1 berada di kawasan kars citatah Padalarang. Selesai berfoto kami lanjutkan perjalana melewati desa Mekarsaluyu, kampung Cibanteng desa Mandalamekar hingga jatihandap dan sampai di daerah cicaheum. Namun sama seperti sebelumnya kamipun menumpang kendaraan waktu di dareah mandalamekar hingga daerah jatihandap. Seperti atlet yang diarak keliling kampung kamipun berdiri sambil sedikit malu karena banyak warga yang melihat kami.
Perjalanan pun berakhir dengan membawa kesan yang takkan terlupakan walaupun kaki dan badan jadi pegal-pegal, namun bila ada waktu lagi sayapun ingin kembali kesana.