Senin, 08 Maret 2010

Mengenang jejak Kejayaan Kereta Bandung-Ciwidey

Sepatu sandal pemberian kaka, kaos kaki & celana berkantong banyak 10 cm dibawah lutut pemberian ibu dengan warna yang sudah mulai pudar termakan deterjen, kaos dengan gambar sebuah senyuman & tulisan “God moody”, sebuaj jaket hitam yang pudar termakan usia & topi hitam pemberian shela itulah yang aku kenakan biasanya untuk ngaleut. Dalam ngaleut kali ini saya bersama pegiat Aleut lainnya akan menyusuri jalur kereta api dengan rute Soreang-Ciwidey yang terkenal itu.

Untuk menghubungkan daerah Bandung dengan daerah-daerah yang menjadi sentra perkebunan itulah salah satu tujuan dibangunnya jaringan kereta api lintas cabang di Bandung dan khusunya jalur Bandung-Ciwidey. Pembangunan Jalan kereta api jalur Bandung-Ciwidey sepanjang + 40,396 Km baru selesai tahun 1924. Pembangunan dimulai dengan jalur Bandung-Soreang melewati kiaracondong sepanjang 29 Km & selesai dibangun pada Februari 1921, sedangkan dari Soreang menuju Ciwidey sepanjang + 11,396 Km baru selesai sekitar tahun 1924 (dalam buku jendela Bandung). Tetapi dari Koran harian PR tanggal 22 Januari 2010 dikatakan “berdasarkan catatan, jalur kereta pai Bandung-ciwidey mulai beroperasi tahun 1923”. Nah perbedaan tahun ini manjadi menarik untuk diperbincangkan sambil minum kopi atau nge-teh di sore hari nih!

Berdasarkan beberapa data jalur kereta Bandung-Ciwidey merupakan satu diantara lima belas jalur kereta api yang sudah tidak diaktifkan dalam kurun waktu sekitar tahun1942 -1970, namun tidak seperti bekas jalur kereta api yang lain jalur kereta Bandung-Ciwidey ini masih tergolong yang paling utuh walaupun sudah banyak ditumbuhi oleh pemukiman penduduk disekitar jalur kereta bahkan ada yang mendirikan bangunan diatas bantalan rel dan ada sebagian besi rel yang dicuri dengan menggergajinya ataupun mengambil bantalan rel untuk dijadikan suluh(kayu bakar).

Menyusuri jalur ini kita akan disuguhi pemandangan alam berupa pegunungan, bukit, hutan bambu yang teduh dan hamparan sawah yang mulai menguning tanda siap dipanen dalam beberapa minggu kedepan. Dapat dibayangkan seandainya jalur kereta ini masih beroperasi mungkin saya akan duduk dekat jendela sambil makan cemilan ditemani secangkir teh hangat yang disajikan oleh mojang Bandung anu geulis sambil senyum sumringah tea! Waduh mantep euy……

Selain itu, kita juga masih dapat melihat peninggalan-peninggalan lainnya, mulai dari jalur rel, bangunan-bangunan bekas gudang & Stasiun, selokan-selokan pengairan, tempat mengisi air untuk lokomotif, jembatan-jembatan rel kereta yang masih gagah walau telah dimakan usia, hingga tempat pemutaran lokomotif/Jembatan putar (yang kini telah berubah menjadi WC umum).

Dan bagi para penggemar film mungkin sudah tidak asing lagi dengan salah satu jembatannya, yaiu jembatan Ciantik yang pernah digunakan untuk pengambilan gambar dalam film berjudul “Oeroeg” pada tahun 1997 bagaimana saat itu terjadi pertukaran sandera antara pribumi (Oeroeg) dengan orang Belanda dengan perbandingan yang tidak sebanding karena satu orang Belanda dengan banyak pribumi.

Ada beberapa alasan dibukanya jalur kereta ini, diantaranya untuk menghubungkan daerah Bandung dengan daerah-daerah yang menjadi sentra perkebunan, untuk mengangkut para penduduk yang hendak ke kota baik itu untuk membeli kebutuhan sehari-hari, mengadu nasib dengan menjajakan makanan/jajanan atau menjadi buruh tani di musim kemarau. Menurut cerita beberapa penduduk ketika jalur ini masih aktif Bandung adalah tempat yang dituju untuk membeli kebutuhan sehari-hari, dimana bahan pangan didapat disekitar stasiun Bandung, bahan sandang didapat di Pasar Baru dan barang elektronik didaerah Banceuy (Jl. ABC, masih sama seperti sekarang). Biasanya para penduduk menumpang kereta pertama jam 04.00 WIC (Waktu Indonesia bagian Ciwidey) dan kembali pulang dengan kereta terakhir dari Bandung jam 17.30 WIC. Bahkan pada saat itu di stasiun Ciwidey terdapat banyak orang gila, ada yang memang iseng ikut kereta dan tidak sedikit juga yang sengaja dibuang dari Bandung.

Ketika masih beroperasi kereta ini memiliki jadwal dua kali keberangkatan. Dua kali dari stasiun Bandung dan dua kali dari stasiun Ciwidey. Jalur Bandung-Ciwidey dimulai dari persimpangan jalur di Stasiun Kiaracondong menyusur kea rah Dayeuhkolot, Baleendeh dan Banjaran. Di Banjaran sendiri terdapat persimpangan kea rah selatan menyusuri kawasan pertanian, perkebunan dan pertambangan belerang hingga berakhir di Ciwidey.

Penutupan Jalur kereta api Bandung-Ciwidey ini terjadi setelah adanya kecelakaan rangkaian kereta api yang ditarik dengan lokomotif seri BB di kampung Cukanghaur (terletak diantara stasiun Cisondari dan Sadu), kecamatan Pasirjambu pada 7 Juli 1972 yang mengakibatkan dua atau tiga orang tewas dan beberapa orang lainnya luka-luka. Kecelakaan ini diduga karena kelebihan beban muatan yang membawa kayu pinus untuk dikirim ke Jakarta.

Mengenal & mempelajari sejarah menjadi lebih menyenangkan bila kita menggunakan metode belajar sambil bermain seperti yang kami lakukan, dimana suatu pengalaman belajar menjadi lebih mengasikkan, tak terlupakan dan tidak membosankan seperti biasanya.

Sumber Bacaan:

Jendela Bandung Karangan Her Suganda

Koran Harian Pikiran Rakyat Tanggal 22 Januari 2010

The Jakarta Post

Kamis, 21 Januari 2010

Mengejar Negeri di Awan

Bandung, Sabtu 2 januari 2010
Ini adalah awal perjalanan saya di tahun 2010. Rute yang akan akan saya tempuh memang singkat yaitu, dari daerah dago menuju daerah Cicaheum bahkan naik angkutan umum pun tidak sampai Rp. 5.ooo,- tapi perjalanan yang akan saya tempuh ini adalah dengan berjalan kaki dan bukan melewati jalur angkot. Teapi melewati daerah Dago atas, Warung Daweung hingga Cicaheum.
Jam menunjukan 04.40 pagi dan bersama rekan saya taufik & Shela perjalanan pun kami mulai. Memasuki daerah dago resort kami berjalan terus mengikuti kemana kaki melangkah, dalam terang gelapnya kami rasakan udara sejuk khas yang dikota-kota sudah jarang bisa ditemukan dan yang terpenting inilah oksigen yang baik untuk kesehatan. Sambil terus berjalan tak terasa jalan komplek yang semakin menanjak, namun itu tidak kami sesali karena pemandangan kota Bandung yang indah masih terselimuti kabut pagi. kamipun terkagum-kagum dan membayangkan disini saja pemandangannya sudah indah apalagi kalo udah ditempat tujuan kami yaitu, Warung daweung akan terasa semakin indah dan tentu kamipun semakin bersemangat.
Sampai juga di perempatan yang menanjak, disebelah kiri ada jalan yang tertutup portal dan disebelah kanan adalah jalan yang akan kami pilih dan yang menjadi patokannya adalah The View International Restaurant. Kami terus berjalan hingga kondisi jalan berubah menjadi abstrak yang menandakan komplek perumahan berakhir dan berganti menjadi jalan menuju perkampungan penduduk.
Jalan menanjak hingga kemiringan 450 pun kami lewati, gonggongan anjing tak kami hiraukan dan sesekali kami beristirahat sambil memandangi kota yang terselimut kabut yang semakin lama semakin memudar dan menandakan denyut kehidupan kota mulai bergeliat. Dan seperti biasa kebun-kebun penduduk dikanan kiri yang tertata dengan apik menyerupai motif kain batik seperti ikut mendukung kain batik sebagai warisan dunia walaupun sebenarnya motif-motif itu dibuat karena kebun-kebun berada dilereng yang memiliki kemiringan cukup miringlah.
Beberapa gapura desa telah kami lewati mulai dari desa Ciharalang, Cikahuripan dan hingga Cimenyan yang ternyata daerah Cimenyan ini sangat luas juga. Sambil berjalan kami berpapasan dengan para petani yang hendak berkebun dan kebetulan ada kendaraan pick up terbuka melintas tanpa pikir panjang kamipun ikut menumpang bersama para ibu-ibu petani. Hingga ada percabangan jalan kmaipun berhenti karena ada tulisan Warung Daweung darisini Kamipun berjalan sedikit untuk menuju tempat ttersebut, kamipun melihat sorang nenek yang sedang moyan (berjemur) saya terkagum-kagum karena rumahnya gubuk, tetapiu pemandangan dari terasnya yang sangat indah. Kamipun sampai di Warung Daweung negeri di atas awan yang indah dimana waktu malam tahun baru saya bersama teman-teman melihat kembang api. Sambil beristirahat kami memesan Pisang goreng Keju ditemani segelas kopi yang dibawa oleh Shela. Rasa lelah kamipun hilang saat itu juga, pemandangan yang menurut saya sangat indah. Gunung tinggi berselimut kabut dengan cerah dan birunya langit dengan bangunan-bangunan di kota yang terlihat sangat kecil. Sayapun teringat akan manusia purba yang mungkin saja ditempat saya berada inilah mereka dulu berada atau tinggal.
Dan itulah mengapa saya memberi judul tulisan ini mengejar negeri di awan yang semula mengejar matahari, karena memang rencana awalnya adalah melihat matahari nongol namun kami tidak sempat tapi tetap saja kami tidak menyesal karena pemandangan indah dari tempat ini. Dan seperti biasa para model pun mulai beraksi dan foto-foto yang dihasilkanpun lumayan membuat orang-orang yang melihatnya takjub.
Setelah kami puas menikmati keindahan ini, kamipun memutuskan kembali pulang namun melewati jalur yang berbeda yaitu menuju daerah cicaheum. Jalan yang kami tempuh memang sangat becek diawalnya namun lama-kelamaan jalan aspal yang kami lalui. Tak terasa 1 jam lebih kami berjalan hingga kemi melihat kumpulan batu-batu sisa letusan gunung berapi ya kami menyebutnya taman batu 2 karena taman batu 1 berada di kawasan kars citatah Padalarang. Selesai berfoto kami lanjutkan perjalana melewati desa Mekarsaluyu, kampung Cibanteng desa Mandalamekar hingga jatihandap dan sampai di daerah cicaheum. Namun sama seperti sebelumnya kamipun menumpang kendaraan waktu di dareah mandalamekar hingga daerah jatihandap. Seperti atlet yang diarak keliling kampung kamipun berdiri sambil sedikit malu karena banyak warga yang melihat kami.
Perjalanan pun berakhir dengan membawa kesan yang takkan terlupakan walaupun kaki dan badan jadi pegal-pegal, namun bila ada waktu lagi sayapun ingin kembali kesana.

Senin, 07 September 2009

Menelusuri Urat Emas Pangalengan



Yup di Pangalengan ternyata ada juga penambangan emas tepatnya sih di daerah perkebunan teh cukul lokasinya yang lumayan jauh karena harus melewati situ cileunca dan juga perkampungan penduduk . dan sebelum mencapai perkebunan teh cukul inipun kita dapat melihat rumah peninggalan bergaya jerman lengkap dengan danau kecilnya. Lokasi penambangan ini bisa ditandai dengan tempat penimbangan daun teh sih pada awalnya namun kini bangunan penimbangan telah rata dengan tanah.

Tambang emas ini pada mulanya merupakan daerah pertambangan milik salah satu perusahaan tambang terkemuka hanya saja karena kadar emasnya kecil, maka ditinggalkan dan ternyata para penambang ini adalah pegawai tambang dari perusahaan tersebut, keahlian yang mereka dapat sewaktu menjadi pegawai mereka terapkan saat ini untuk mencoba peruntungannya dengan menjadi penambang rakyat dan ternyata para penambang ini adalah satu keluarga besar dan berasal juga dari daerah Garut dan ternyata lagi lagi ternyata tempat mereka menambang itupun berbatasan juga dengan daerah Garut. Dalam setiap tempat penambangan bisa terdiri dari 30 orang dan juga katanya semakin kebawah semakin banyak juga penambang-penambang seperti mereka. Pada gubuk-gubuk berteduh pun ada anak-anak yang seharusnya mereka tidak boleh ada ditempat itu, namun karena situasi dan keadaan ekonomi yang mengharuskan mereka berada ditempat tersebut.


Jangan bayangkan tempat tidur yang nyaman dengan spring bednya dan jangan bayangkan juga udara yang bersahabat setiap harinya betapa tidak udara dingin dan kabut yang hampir setiap hari datang dan terkadang hujan turun dengan derasnya! Dan tentu saja karena tempat tinggal yang dihuni oleh para penambang ini jauh dari kata layak bahkan kalo saya bilang sangat tidak sepadan dengan perjuangan mereka untuk bertahan hidup tapi yah itulah perjalanan hidup bagi mereka mencari gram demi gram emas untuk menghidupi keluarga mereka. Salah satu hiburan bahkan olahraga bagi mereka addalah bermain tenis meja selain hiburan dari radio bahkan menurut salah seorang penambang pada jam 3 subuh kami bisa nonton juga film-film dari luar yang bebas tanpa sensor! Loh emang ada listrik? Tentu saja ada sumber listrik berasal dari dinamo-dinamo yang digerakan oleh turbin-turbin kecil tenaga air.


Cara menambang yang masih tradisional membuat suatu keunikan tersendiri. Pada awalnya mereka menggali lorong-lorong dengan lebar sekitar 50cm dan tinggi sekitar 1,5 meter sayapun harus menunduk saat hendak melihat dalamnya seperti apa, setelah itu lorong hasil galian tersebut hanya ditahan menggunakan kayu seadanya saja. Awal saya melihat wajah para penambang mungkin seperti melihat orang-orang Mongolia yah alasannya karena wajah mereka yang pucat putih karena batu kapur yang mereka tambang untuk mencari gram demi gram emas. Awalnya mereka mengambil batuan dan bahan-bahan lain yang masih tercampur lalu dibagian lain batu-batu tersebut dipecah manjadi bagian-bagian yang lebih kecil untuk memudahkan dalam memasukan kedalam gledegan atau tabung-tabung besi untuk mengurai antara emas dan bahan lainnya tentu saja dengan menggunakan tenaga dari air yang tadi dibendung tadi dan tentu saja setelah sebelumnya dicampur dengan air raksa.

Setelah mereka mendapatkan emas, tidak mereka langsung jual tetapi mereka kumpulkan dahulu agar hasilnya lebih lumayanlah, sebenarnya ada tengkulak yang akan membeli emas-emas hasil mereka namun karena harganya yang rendah mereka lebih senang untuk menjual langsung kekota atau kedaerah pangalengan dan alasan lainnya adalah agar mereka bisa seklaian berbelanja untuk kebutuhan sehari-hari mereka.


Namun ada keindahan dibalik perihnya kehidupan para penambang dan keluarganya yaitu air terjun yang lumayan indah walaupun untuk mencapai air terjun tersebut kita harus ekstra hati-hati karena ada bagian sungai yang dibendung untuk menambah derasnya air yang digunakan untuk memutar tabung-tabung besi tadi. Jalan berbatu dengan lumut hijau yang licin serta dalamnya air menuju air terjun setinggi hampir selutut membuat kita harus mengungsikan dahulu benda-benda elektronik kalo ga mau jadi basah dan rusak tentunya. Bila kita lihat dari segi lingkungan penambangan ini tentu saja sangat merusak tapi apa mau dikata mereka pun terpaksa melakukannya karena faktor ekonomi yang memaksa.







Sabtu, 11 Juli 2009

Tjikapoendoeng




Memang tepat bila aku diberi nama sungai cikapundung dan ada baiknya juga teman-temanku yang lainnya berganti namanya menjadi cikapundung, bagaimana tidak aku yang memberikan manusia sesuatu yang sangat dibutuhkan yaitu air! Mereka tidak mau untuk merawat diriku dengan baik dan benar walaupun disepanjang jalan ada beberapa pekerja yang sedang melakukan perawatan tapi itupun perawatan pipa PDAM bukan perawatan terhadap diriku.

Andai saja manusia bisa melihat dan mendengar rintihan dan jeritan diriku ketika mereka merusak, mengotori dan mencemari aku, tapi ya namanya juga manusia! Disatu sisi ada yang merawat dan disatu sisi ada yang merusak. Belum lagi para penduduk yang tinggal disepanjang bibir atau sepandan badan aku ini yang tidak jarang membuang sampahnya langsung ke badan aku! (semakin menangislah diriku ini).

Apa mereka tidak pernah melihat kemarahanku? Bukankah seharusnya mereka menyadari ketika aku mengirim kembali sampah-sampah yang telah mereka buang! Tidak sadarkah mereka ketika aku memberi mereka bencana banjir itu? Bukankah mereka semua tau dan sadar, tetapi mengapa selalu diriku yang menjadi korban?dan kenapa mereka tidak pernah berhenti untuk tidak mengotori dan merusak diriku ini!

Siapa yang salah dan patut dipersalahkan tanyaku dalam hati! Tapi ketika aku bertanya kepada teman-teman disekitarku mereka selalu menjawab: lihatlah rumput yang bergoyang itu dan setelah kau melihatnya kau pasti tau siapa yang salah. Aku belum tau jawabannya, maka kutanya pada yang lain; lihat saja air yang yang mengalir itu dan setelah itu kau pasti tau siapa yang salah, namun tetap saja tidak kutemukan jawabannya. Lalu dalam hati kuberkata yang pasti bukan salah bunda mengandung yang salah hanyalah mereka yang telah merusak dan mengotori diriku ini tanpa peduli terhadap nasib yang lainnya.

Sudah lupakan semua lebih baik aku bercerita sajah tentang diriku ini. Semua pasti tau aku ini sungai terpanjang di dunia karena mengalir di dua benua yaitu Asia-Afrika, tetapi apakah semua orang tau bahwa akulah yang menjadi salah satu alasan mengapa Deandles memindahkan ibukota Bandung yang lama ke alun-alun? Yah alasannya karena aku merupakan sumber bagi warga dalam mencari sumber air. Dan taukah bahwa pada jaman Prasejarah dahulu, saat Danau Besar Bandung masih ada, aku ini berada 30 meter dibawah permukaan danau. Para manusia Prasejarah yang tinggal di perbukitan utara biasa menyebrangi danau sebelum tiba di selatan bandung untuk suatu urusannya.

Mungkin sekian yang bisa aku ceritakan semoga diriku ini bisa lebih dihargai dan dijaga agar kelangsungan manusia akan air akan tetap tercukupi.






Jumat, 10 Juli 2009

Dr. Frans Wilhelm Junghuhn



“TAMAN JUNGHUHN” plang dengan tulisan itulah yang menandakan lokasi makan junghuhn, berada sekitar beberapa ratus meter dari pasar lembang dan terletak di daerah Jayagiri Kec. Lembang Kab. Bandung. Taman dengan bentuk menyerupai hutan kecil yang sebenarmya merupakan cagar alam dengan luas 2,5 Ha dibawah nauangan Direktorat Jenderal Perlindungan hutan dan Konservasi Alam. Taman yang memiliki berbagai plastma nutfah seperti pohon cemara pinus, pohon kina (Chinchona calisaya) dan sebuah makam yang diatasnya dibangun sebuah tugu obelisk. Pada satu sisinya tertulis Dr. Frans Wilhelm Junghuhn, Gebore te Mansfield Pruisen 14 October 1810 – Overleden te Lembang 24 April 1864, namun menurut Rudiger Siebert tanggal lahir Junghuhn seharusnya 26 Oktober 1809.

Lalu siapakah sebenarnya Junghuhn itu? Beliau merupakan seorang dokter, peneliti berkebangsaan jerman dan juga perintis penanaman pohon kina di Hindia Belanda. Konon kabarnya bibit kina pertama kali dibawa Junghuhn dengan cara menyembunyikannya didalam sepatunya. Ya karena peran kina yang sangat besar pada saat itu sebagai bahan baku obat malaria membuat Peru sebagai salah satu negara penghasil kina memegang hak monopoli sehingga ekspor kulit kina diawasi secara ketat terutama biji dan bibitnya.

Beliau merintis penanaman kina di sejumlah daerah pegunungan di Wilayah Priangan Jabar, seperti di Pangalengan (Cikembang, Purbasari, dan Malabar), di Ciwidey (Rancabolang dan Rancabali) mulai sekitar tahun 1830. Belakangan, usaha yang dirintisnya itu mampu membawa harum nama daerah Priangan, dengan sempat menjadi pemasok utama kina hingga 90% didunia hingga menjelang Perang Dunia II, sebelum akhirnya usaha kina di Jabar mengalami kemunduran yang dilihat dari jumlah produksinya, bahkan saat ini untuk mencukupi kebutuhan bahan baku untuk dua pabrik pengolahan kina kita harus mengimport dalam jumlah yang cukup besar.

Beliau menikah pada tahun 1850 dengan Johanna Lousiana Frederica Koch dan akhirnya tinggal bersama istri dan anaknya di sebuah kampung bernama pondok bambu yang terletak dikaki Gunung Tangkuban Perahu yang mana merupakan satu-satunya kampung di daerah Lembang pada saat itu. Dan ditempat itulah beliau menghembuskan nafasnya yang terakhir, namun sebelum meninggal ia berpesan kepada sahabat yang setia mendampinginya yaitu, Dr. Gronemen “Bisakah engkau membukakan jendela-jendela?” lalu beliau berkata lagi “ Aku ingin berpamitan pada gunung-gunungku, aku ingin memandang hutan-hutan yang hijau dan aku ingin menghirup udara pegunungan yang terakhir kalinya….”

Orang yang mendapat julukan “Humboldt untuk Jawa” itu diakui ,memiliki kemampuan mengamati yang luar biasa. Selain itu beliau juga memiliki bakat yang besar untuk menggambarkan hasil pengamatannya, baik dengan kata-kata maupun dengan lukisannya, bahkan diakhir hayatnya beliau bekerja dengan topografi. Selain sebagai seorang botani beliau juga bekerja sebagai geolog, etnograf, topograf, dan geograf.

Sebagai penghargaan atas nama besar dan jasa Franz W. Junghuhn, namanya diabadikan untuk sebuah perkebunan dan rumah sakit di Kec. Pangalengan Kab. Bandung. Setidaknya, masyarakat dapat mengenal namanya melalui Perkebunan Pasir Junghuhn (kini bagian dari Perkebunan Purbasari) dan Rumah Sakit Pasir Junghuhn, yang kini dikelola PTPN VIII.



Sumber: buku Jendela Bandung karangan Her Suganda dan sumber lainnya
foto : ujang endey dan dari www.nationaalherbarium.nl


Jumat, 03 Juli 2009

Ujung Berung – Lembang





Dalam perjalanan kali ini saya akan dipandu oleh teman SMA saya yang bernama Yohanes biasa dipanggil jojo. Saya akan melakukan perjalanan menuju Lembang yang dimulai dari daerah Ujungberung.

Perjalanan kami mulai sekitar jam 06.20 tepatnya di tanjakan panjang yang kami lihat adalah pemandangan Gunung Manglayang yang masih berselimut kabut Nampak gagah namun tetap mempesona. Selang 10 menit kemudian kami telah memasuki daerah Cinangka, disini kami menemukan persimpangan jalan. Bila kekiri maka hanya mengelilingi daerah sekitar dengan ujung jalannya ada sebuah padepokan yang berada hampir diatas bukit, kearah kanan menuju daerah batu kuda, cilengkrang dan cibiru, sedangkan jalan yang lurus menuju daerah Lembang, Subang, karena tujuan kami adalah lembang maka kami mengambil jalan lurus.

Diperjalanan kami berbelok kearah kanan memasuki komplek perumahan Griya Mukti untuk melihat lebih jelas pemandangan Gunung Manglayang dan bukan hanya itu saja pemandangan yang kami dapatkan, hijaunya hamparan sawah yang dipenuhi tetesan embun disetiap pangkalnya dan keramahan petani yang hendak nyawah (Mengolah sawah). Selesai menikmati suasana persawahan perjalanan kami lanjutkan dengan kembali kearah tadi kami masuk.

Selang beberapa saat kami memasuki daerah dengan tulisan pada gapuranya “Wewengkon Sekeburuy kelurahan Pasirwangi keccamatan ujung berung”. Disepanjang jalan hamper selalu kami temui bak bak penampungan air yang ternyata air-air tersebut ditampung untuk selanjunya dijual kekota dengan menggunakan truk pengangkt air dengan volume sekitar 5000-8000 liter. Dalam hati pantas saja jalanan cepat rusak!

Sekitar 20 menit kami berjalan kondisi jalan sudah tidak semulus seperti dibawah yang terbuat dari hotmik, kondisi jalan memang seperti telah diaspal namun kondisinya cukup parah, bahkan kami sempat melihat pengendara sepeda motor yang jamping karena kondisi jalan yang rusak dan menanjak. Kamipun berbelok kearah kanan untuk melewati jalan setapak yang nampaknya sejuk karena rimbunnya tanaman bamboo belum lagi gemuruh air disepanjang sungai kecil yang semakin menambah gairah untuk segera sampai ditempat tujuan. (padahal dari tempat ini masih 8jam lagi baru sampai). Udara memang sejuk tapi sesaat kemudian aroma embelah yang tercium heuh suasana desa nih!


Akhirnya kami memasuki Kampung Cipanjalu disini terdapat beberapa bangunan rumah panggung yang masih terjaga walaupun sudah tidak sekokoh pada jamannya, namun tetap gagah dan tegar berdiri. Kamipun melewati SD Cikapundung II yang berada di Desa Cipanjalu Kecamatan Cilengkrang kamipun terus berjalan hingga sampai didaerah Cilalareun masih di Desa Cipanjalu. Sayapun sempat bertanya kepada penduduk setempat dan pemilik warung kecil bernama Bapak Endang Mulyadi apa arti dari “Cilalareun”, dan menjawab bahwa cilalareun itu ya tempat pengereunan (pemberhentian) para menak atau pengawas dijaman penjajahan dulu dan katanya sih kalo dulu itu ketika pengawas berkunjung ke suatau desa dan menemukan ada warga yang miskin, maka akan dibantu tapi kalau sekarang udah ga ada lagi katanya sih takut rugi karena yang miskin makin banyak.

Dan kamipun tidak lupa menanyakan apa nama curug kecil yang sebelumnya kami kunjungi tadi. Tempat curug ini mungkin agak sulit dijangkau karena jalan tangga yang ada sudah rusak dan jalan yang licin membuat siapapun harus ekstra hati-hati nech. Sebelum sampai curug kami melihat beberapa tumpukan batu besar yang tertimbun yang sudah mulai retak-retak seperti batuan yang pernah saya lihat di daerah Cihideung Lembang yang mana merupakan sisa dari lava letusan gunung. Sesampainya ditempat ini cukup lega karena bisa sampai dengan sehat selamat. Ditempat ini kami tidak hanya melihat curug , tapi juga melihat bangunan bekas warung dan jembatan bamboo yang sudah rusak. Puas menikmati curug kami kembali keatas.

Kami sempat bingung karena bapak pemilik warung menjawab ada 4 curug didaerah tersebut, diantaranya Curug Orog, Curug Kacapi, Curug Jalaya dan Curug Bolang. Nah curug yang tadi telah kami datangi apa namanya yah? Tapi apapun namanya biarlah yang penting tetap lestari dan terjaga. Perjalan kami lanjutkan dan kami melihat beberapa sapi yang sedang tidur-tiduran dengan santainya berjumlah 3ekor sambil terus berjalan kami melihat suasana gotong royong yang mungkin dikota-kota besar sudah mulai berkurang, diantaranya gotong royong membuat lapangan mungkin untuk acara-acara 17 agustusan dan ada lagi warga yang saling membantu tetangganya pindahan.

Dan kami sampai didaerah bernama “los” dinamakan demikian karena konon katanya pada waktu dulu itu banyak mobil atau motor yang ngelos remnya (remnya blong). Untuk menghemat tenaga kemi memotong jalan kearah perkebunan, disini terdapat pohon pinus dan diselingi tanaman coklat yang masih baru ditanam sekitar 50cm tingginya. Hingga kami melewati SD Palintang Jaya di jalan Palintang Desa Cipanjalu kecamatan Cilengkrang sebelum SD terdapat jalan cagak kekanan dan kiri keduanya sama-sama menuju Lembang hanya saja jalur kanan akan lebih jauh. Didepan SD kamipun istirahat sejenak di sebuah warung dan kebetulan saat itu adalah saat jam bubaran anak sekolah yaitu sekitar jam 10.00.


Lalu kami lanjutkan perjalanan, sempat bertemu beberapa orang penduduk dan yang selalu saya kagumi adalah mereka yang sudah tua tetapi membawa beban yang sangat berat dan bahkan sayapun belum tentu bisa mengangkatnya hingga kami sampai didaerah dengan lapang yang cukup luas dan ada sebuah bangunan terbuat dari seng entah itu pabrik pengolahan kina atau bukan dan yang pasti kami melihat plang dengan tulisan “Ujungberung 11 km”, wah berarti kami sudah berjalan sekitar + 11 km donk pantes kami kelelahan. Sejenak kami beristirahat di sebuag gubuk dengan tulisan “Pos Kamling”.


Kami memasuki desa Cipanjalu (masih tetep desa Cipanjalu uy), kesan pertama saya adalah sepi banget desanya pada kemana nih piker saya, namun yang saya kagumi adalah kebersihan dan keindahan desa ini ya walaupun jauh dari kota tapi penataan lingkungannya cukup baik loh dan juga ada tempat buang air yang tanpa pintu. Unik sih tapi malu juga kan kalo lagi buang air besar ada orang salah masuk, tapi yah mungkin dengan begitu rasa persaudaraan dan kebersamaan diantara mereka semakin terjalin (mungkin sajah hehehe!). kami cuci muka dan menyegarkan diri sesaat.

Jalan lagi nih, tapi dibawah ternyata ada situ gunung kasur kata penduduk sih gitu! Kami keliling sebentar karena ukurannya yang tidak terlalu besar malah jadi lebih mirip empang (kolam ikan), lanjut lagi kami melihat tempat pembibitan kina disini terdapat beberapa jenis kina diantaranya yang berdaun panjang tapi kecil yah mirip daun buah mangga dan yang satu lagi daunnya besar-besar. Saya sempat bingung karena tak tahu mana yang tanaman kina dan ternyata memang keduanya adalh pohon kina.

Sebelum sampai lembang kami harus melewati 2 desa lagi dan kata penduduk kalo jalan kaki sekitar 14km lagi wah pengkor ni kaki tapi ga masalah perjalanan kami lanjut desa demi desa kami taklukan hingga kami melewati Bukit Tunggul, dan Desa Batu Lonceng kami sempat ke desa Batu lonceng hanya waktu sudah cukup siang, maka kami hanya lewat saja.

Ternyata jalan yang kami ambil salah harusnya kami ambil jalur kanan tapi kami ambil jalur kiri yang ternyata akan tembus didaerah Cicaheum. Karena kami enggan berbalik arah kami memutuskan melewati sungai dengan harapan kan lebih cepat sampai dan ternyata tidak kami harus memutar karena sungainya tidak bisa kami sebrangi belum lagi jalan yang kita lalui adalah jalan bukit yang terjal salah langkah kami terperosok jatuh masuk sungai tapi untungnya tidak. Kamipun sampai didesa Suntenjaya Lembang meski harus bekerja keras naik turun bukit, tapi perjalan benar-benar seru dan menegangkan.

Akhirnya kami naik angkot untuk menuju pasar lembang, namun ditengah jalan angkot berenti dan meminta kami naik ojek saja dan tidak perlu membayar ongkosnya, tapi perjalanan menuju pasar masih jauh. Kamipun berjalan kembali sambil menunggu angkot dating. Meski kaki sudah lecet dan pegel banget tapi ya nikmatin pemandangan jadi agak lupa ma pegel-pegelnya. Agkot dating kami naik dan sampai dipasar lalu makan sore dan kami lanjutkan pulang menuju Bandung.

Sekian catatan perjalan ini sungguh melelahkan namun mengasikan dan menegangkan.